Dalam hidup ini, kita semua sedang berjalan di sebuah jalan panjang yang ujungnya cuma dua: surga atau neraka. Dan sering kali, kita tergoda untuk berhenti terlalu lama di rest area dunia, lupa bahwa perjalanan kita sebenarnya belum selesai.
Di antara pengingat penting yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an adalah tentang siapa yang layak mendapat tempat di akhirat nanti.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Qashash: 83)
Ayat ini menjadi tamparan lembut — atau bahkan keras — bagi kita yang masih suka memelihara kesombongan, merasa paling benar, paling suci, paling tinggi, atau bahkan merasa dunia ini milik pribadi.
Surga Itu Bukan untuk yang Angkuh
Kalau kita perhatikan makna dari kata al-uluwwu dalam ayat tersebut, para ulama seperti dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa itu adalah sikap angkuh, menyombongkan diri, merasa lebih tinggi, dan berlaku sewenang-wenang.
Sedangkan fasaad adalah kerusakan, yang bentuknya bisa macam-macam: mulai dari korupsi, penindasan, hingga maksiat terang-terangan.
Maka jelas, bahwa orang-orang dengan sifat seperti ini tidak layak menempati ad-dar al-akhirah yang penuh kenikmatan dan ketenangan. Karena negeri akhirat itu, kata Allah, khusus buat orang-orang yang bertakwa, bukan untuk mereka yang membusungkan dada atau mempermainkan hukum-Nya.
Ibnu Katsir berkata:
“Ayat ini menunjukkan bahwa negeri akhirat diperuntukkan bagi mereka yang tidak sombong dan tidak membuat kerusakan. Artinya, mereka tidak mencari keagungan di dunia, baik dengan perkataan maupun perbuatan, dan tidak berbuat kerusakan di antara manusia.”
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Qashash: 83)
Sombong Itu Ciri Iblis
Kalau kamu masih merasa “nggak masalah” jadi orang sombong asal ibadah tetap jalan, coba ingat siapa makhluk pertama yang sombong?
Ya, iblis.
“(Iblis) berkata: 'Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah.'”
(QS. Al-A’raf: 12)
Iblis bukan makhluk kafir dari awal. Ia ahli ibadah. Tapi satu penyakit yang membuatnya terlempar dari rahmat Allah: sombong. Merasa lebih tinggi, lebih mulia, dan menolak perintah karena tak mau “disamakan” dengan manusia.
Dan Nabi Muhammad ﷺ pun sudah wanti-wanti soal ini:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
(HR. Muslim, no. 91)
Rendah Hati Itu Tinggi Derajatnya
Sebaliknya, sikap tawadhu’ (rendah hati) justru menjadi sifat mulia yang membuat seseorang diangkat derajatnya oleh Allah.
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
(QS. Al-Furqan: 63)
Orang yang tawadhu’ bukan berarti lemah, bukan pula minder. Justru orang yang rendah hati adalah mereka yang tahu posisi dirinya: hamba Allah, bukan penguasa dunia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.”
(HR. Muslim, no. 2588)
Kerusakan di Muka Bumi = Merusak Tiket ke Surga
Selain sombong, ayat QS. Al-Qashash: 83 juga menyorot soal fasaad alias kerusakan. Ini luas banget maknanya.
-
Menipu dalam bisnis, itu kerusakan.
-
Menzalimi istri atau suami, itu kerusakan.
-
Nyebar hoaks atau fitnah di medsos, juga kerusakan.
-
Merusak alam, lingkungan, bahkan mencuri listrik tetangga pun masuk kategori ini.
Islam mengajarkan keseimbangan. Kalau kita hidup seenaknya, tanpa peduli dampaknya ke orang lain atau lingkungan, jangan kaget kalau Allah tidak berikan kita tempat di akhirat yang damai itu.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)
Jalan ke Surga Itu Dimulai dari Dunia
Banyak orang menganggap urusan akhirat itu nanti-nanti aja. Padahal, jalan menuju surga itu dimulai dari sini, dari dunia ini. Dan tanda-tanda orang yang menuju surga bisa dilihat dari:
-
Akhlaknya.
-
Bagaimana dia bersikap terhadap orang lain.
-
Seberapa rendah hati dia saat diberi nikmat.
-
Seberapa kuat dia menahan diri dari merusak atau menyakiti.
Maka pantaslah jika Nabi ﷺ mengajarkan doa yang sangat indah:
“Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban-naar.”
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka.”_
(QS. Al-Baqarah: 201)
Penutup
Kita semua ingin akhir yang indah. Tapi akhir yang indah tidak mungkin didapat dengan hati yang penuh kesombongan dan tangan yang gemar membuat kerusakan.
Akhirat bukan tempat buat orang yang merasa paling hebat. Tapi tempat bagi mereka yang tak merasa lebih tinggi, tak menyombongkan amal, dan tak semena-mena terhadap ciptaan Allah.
Mulai hari ini, mari kita koreksi diri:
-
Apakah kita masih suka meremehkan orang lain?
-
Apakah kita merasa lebih mulia dari yang lain?
-
Apakah kita masih membuat kerusakan, sekecil apapun itu?
Jika iya, saatnya kita berubah. Karena kesudahan yang baik (husnul khatimah) hanya untuk orang-orang bertakwa — dan takwa tak pernah tumbuh di hati yang sombong.